Opini,Nuansa Sulsel-Tradisi mudik itu, seorang budayawan adalah pertanda akal budaya manusia yang sehat. Mereka yang mudik itu masih mempunyai rasa kangen yang tersimpan selama berada di hilir. Sehingga mudik semakin asyik dan romantis dilakoni meski harus berjejal dan berjubel di jalan saat antri tiket atau mengendarai kendaraan sendiri di jalan raya yang tak alang kepalang jauhnya dari ibu kota.
Karena itu, mudik bukan dilakukan oleh mereka yang menetap di kampung. Sebab tradisi mudik itu hanya dilakukan oleh kaum urban yang masih menyisakan banyak hal di kampung halaman.
Jika mudik dilakukan pada hari menjelang lebaran (Hari Raya Idul Fitri) boleh jadi ada diantaranya yang beranggapan sebagai pelengkap dari kesempurnaan ibadah puasa untuk dirayakan bersama keluarga di kampung kelahiran. Sehingga tradisi berbagi sadaqah atau zakat dapat dilakukan jor-joran dengan anggapan sekalian berbagi — dalam kesempatan setahun sekali — sehabis kerja keras mengumpulkan harta dan kekayaan entah dengan cara apa saja dilakukan.
Jadi tradisi mudik itu cukup baik — setidaknya menandai bahwa kita masih punya kampung halaman dan keluarga yang masih ada di sana. Jadi tak hanya menandai bahwa kita sesungguhnya adalah orang udik yang sudah berada hilir — seperti muara dari segenap pertemuan yang berada di muara.
Biasanya di udik itu segenap keluarga berkumpul, termasuk mereka yang berada di hilir yang lain. Maka semakin gegap gempitalah pertautan keluarga, sanak famili atau mungkin handai taulan yang masih ada keterkaitan dengan keluarga. Mungkin saja diantaranya anak cucu dan menantu yang ikut dalam arus mudik dari hilir itu. Sehingga beragam barang dan perangai bawaan ikut menambah semarak dan riuhnya kegembiraan. Apalagi kemudian bisa berbagi-bagi Rizki yang cukup melimpah untuk sekalian melunasi rasa kangen dan kegembiraan bersama mereka yang setia menanti dan menjaga kampung halaman.
Pendek kata, tradisi mudik itu sehat. Baik dalam telaah ekonomi maupun dalam telisik sosiologi dalam arti pemerataan maupun kekerabatan agar tak putus jalinan persaudaraan. Itulah sebabnya kesedihan menjadi patut dan wajar merundung kami yang tak dapat mudik lantaran banyak alasan, mulai dari tak punya duit hingga dalih lain yang terkadang tak masuk akal. Tapi realitasnya begitu adanya. Apalagi bagi kami yang tak lagi punya kampung halaman. Jika pun bisa mudik, dimana kampungnya sekarang. Sebab di sana sudah tidak lagi ada apa-apa. Jangankan sanak saudara, sekedar lahan sepetak pun sekarang sudah jadi milik para pendatang. Lebih celaka lagi tentu saja, kampung halaman itu sekarang sudah dipenuhi oleh bangsa asing.
Artinya, tradisi mudik itu sehat untuk ikut menjaga kampung halaman kita agar tidak hilang karena berpindah tangan pada para pendatang entah dengan cara apa saja. Karena para pendatang itu memang tidak punya kampung halaman, seperti kita yang tersingkir atau terbuang. Maka itu betapa malang dan tragisnya mereka dan kami yang tak lagi punya kampung halaman.
Jacob Ereste