HERAWATI, S.Pd.,M.Pd.
(Pemerhati masalah sosial, guru SMPN 7 Sinjai)
Kompas.com (20/05/2023) menurunkan berita tentang kronologi tewasnya bocah kelas 2 SD sukabumi setelah mengalami perundungan oleh kakak kelasnya pada Senin (15/5/2023). Kakek korban, HY mengatakan, usai kejadian yang terjadi di sekolah itu, cucunya tersebut sempat mengeluh sakit. Keesokan harinya, Selasa (16/5/2023), korban memaksa tetap masuk sekolah meski dalam keadaan sakit, namun nahas, saat itu korban kembali dikeroyok oleh kakak kelasnya.
Berdasarkan keterangan dokter, korban mengalami luka pada bagian organ dalamnya. “Hasil visum korban mengalami luka pecah pembuluh darah, dada retak, dan tulang punggung retak,” jelasnya.
Aksi perundungan yang lebih dikenal dengan istilah bullying nampaknya masih marak terjadi di tengah masyarakat khususnya pada anak dan remaja. Tak terhitung video bullying yang viral di kalangan pelajar, mahasiswa, bahkan guru yang telah mencoreng dunia pendidikan.
Fenomena bullying dan kekerasan semestinya menjadi perhatian serius pemerintah mengingat bullying dan kekerasan dapat menjadi tren generasi dalam menyelesaikan masalah.
Derasnya informasi dari media yang seolah tak terkendali dengan konten-konten kekerasan didalamnya, mulai dari game hingga film yang pada akhirnya mudah ditiru dalam kehidupan nyata. Hal ini telah berkontribusi membentuk karakter generasi brutal, sarkastis, serta mati rasa kemanusiaan. Miris!
Selain pengaruh media yang begitu besar, diketahui bullying merupakan sebuah siklus, dimana para pelaku saat ini kemungkinan besar adalah korban dari pelaku bullying sebelumnya. Ketika menjadi korban, mereka membentuk skema kognitif yang salah, bahwa bullying dapat dibenarkan meskipun mereka merasakan dampak negatifnya sebagai korban. Terjadinya bullying sangatlah menyakitkan bagi si korban. Oleh karenanya bullying merupakan sebuah siklus yang apabila dibiarkan akan terus-menerus terjadi dan memakan banyak korban.
Tindakan bullying dapat terjadi secara fisik, psikis maupun verbal. Bullying secara fisik bisa berupa tindakan menendang , memukul dan sebagainya. Bullying secara psikis dapat berupa intimidasi, penghancuran citra dan ancaman.
Sedangkan bullying secara verbal berupa kata-kata atau ucapan dalam bentuk panggilan nama, komentar tak pantas yang keluar dari mulut pelaku bullying. Munculnya kasus ini tidak lepas dari sistem kapitalis sekuler yang dianut negeri ini , dimana telah mengeliminasi peran agama dalam membentuk kepribadian generasi. Ditambah diperburuk oleh buruknya sistem sosial, penataan media serta buruknya pendidikan keluarga hari ini yang kita dapati pada keluarga muslim.
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011-2019 tercatat ada 574 anak laki-laki dan 425 anak perempuan menjadi korban perundungan di sekolah. Sedangkan 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan tercatat sebagai pelaku perundungan di sekolah. Sedangkan sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 53 kasus perundungan yang terjadi di berbagai jenjang di satuan pendidikan. Jumlah ini menurun karena sebagian besar sekolah ditutup karena pandemi (Republika, 22/5/2023).
Masih di laman Republika (22/5/2023), kasus perundungan menurut Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menunjukkan tren naik saat sekolah-sekolah kembali melakukan pembelajaran tatap muka seiring dicabutnya status pandemi Covid-19. Dalam beberapa waktu terakhir juga muncul kasus perundungan yang memakan korban jiwa di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sepanjang tahun 2022 misalnya KPAI mencatat kenaikan signifikan kasus bullying yakni sekitar 226 kasus, atau meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun 2021.
Adanya peningkatan kasus bullying secara signifikan dan menelan banyak korban jiwa, sudah semestinya bullying menjadi emergency case yang harus secepatnya diselesaikan. Maka sudah seharusnya penyelesaiannya harus komprehensif, bukan sekadar sibuk menyiapkan regulasi, anggaran, program, namun juga dicari akar penyebab meningkatnya perilaku sadis dan bengis pada anak yang menjadi tren hari ini.
Langkah-Langkah yang perlu dilakukan yaitu:
Pertama, pendidikan pertama kali diajarkan di lingkungan terdekat yakni rumahnya sendiri (Keluarga). Walaupun pendidikan ini bersifat Informal tetapi, memiliki pengaruh yang sangat luar biasa. Sudah tidak asing ketika kita mengenal kata ummun warobatul bait. Fungsinya seorang ibu adalah untuk mendidik anak-anaknya dan memberikan pemahaman-pemahaman Islam terutama mengajarkan bagaimana menjadikan landasan (qaidah) dan kepemimpinan (qiyadah) Islam dalam bertingkah laku, berinteraksi dengan orang lain, dan menyelesaikan masalah pribadinya sesuai dengan tuntunan hukum syara.
Selain ibu, tentunya seorang ayah pun memiliki tanggung jawab yang sama dalam mendidik anak-anaknya. Mereka senantiasa bersinergi untuk membangun Sumber Daya Manusia sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sehingga, tercapailah di dalam diri anak Keperibadian Islam (Syakyiah Islamiah). Ketika anak sudah tertanam sejak dini keperibadian Islam, tidak memungkinkan mereka melakukan bully terhadap teman-temannya. Karena mereka sudah memahami hal tersebut terlarang dalam Islam. Pemahan ini akan terpatri dengan kuat di dalam diri anak.
Kedua, peranan pendidikan yang memiliki kurikulum yang sesuai dengan aturan yang ada di dalam al-Qur´an dan as-Sunah sebagai landasan dalam penyusunannya. Sejarah telah membuktikan ketika kurikulum sesuai aturan sang Pencipta dilaksanakan dan diajarkan kepada anak maka, lahirlah orang-orang yang hebat. Ia tidak hanya cerdas secara akademik tetapi, ia lahir sebagai orang-orang yang shalih yang selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Imam as-Syafi´i misalnya. Keshalihan inilah mampu menjadi seseorang yang hebat dan mengukir tinta emas peradaban. Antara pendidikan yang ada di keluarga dan di sekolah sama-sama saling melengkapi satu sama lain. Menjadikan pola pikir dan pola sikap sesuai dengan aturan sang Pencipta.
Ketiga, media sosial. Dari awal media sosial disebut-sebut sebagai pemicu tindakan bullying ini. Seharusnya media sosial hanya dijadikan sebagai sarana dalam mendidik anak. Media ketika dipergunakan secara bijak tidak akan berpengaruh buruk terhadap seseorang apabila dia menggunakannya memiliki dasar keimanan yang kuat sehingga mampu memfilter setiap informasi yang masuk. Namun ketika seseorang tidak memiliki keimanan yang kuat media sosial apabila digunakan justru akan menambah buruk moral dan akhlak seseorang .
Ketiga hal diatas, sesungguhnya tugas negaralah yang mampu mengontrol perangkat-perangkat ini baik dari keluarga, pendidikan, maupun media sosial. Di dalam media sosial pun harus mampu memfilter apa-apa yang tidak sesuai dengan hukum syara. Tontonan kekerasan, tontonan porno, dan tontonan yang sifatnya tidak mendidik yang memungkinkan akan merusak kepribadian anak-anak harus dihentikan.
Sudah diketahui bersama, bahwa sekulerisme sudah mengarah daging di berbagai lini kehidupan ini. Kasus-kasus tersebut sangat besar terjadi selalu terulang kembali. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak benar-benar tuntas mengusut persoalan tersebut. Satu lagi menjadi harapan terbesar kita sebagai seorang yang beriman adalah kembali menerapkan Islam secara Kaffah dalam bingkai khilafah yang mampu menjaga anak-anak kita untuk memiliki kepribadian Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.[]